Jumat, 27 Agustus 2010

Ramadhan dalam tradisi bali
By Nurlis Effendi

Kerukunan beragama sangat tergambar di Bali yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Pulau Dewata yang dua kali diluluhlantakkan bom bunuh diri teroris ini sangat menghargai keyakinan yang berbeda.

Itulah sebabnya, umat Islam yang termasuk golongan minoritas bisa menjalankan ibadah puasa dengan nyaman dan tenang di bulan Ramadan ini. Ritual yang sesuai ajaran Islam berjalan dengan baik, begitu juga tradisi adat Bali tetap hidup.

Lihatlah Masjid Muhajirin, Kepaon, Denpasar, Bali. Adalah tradisi bernama megibung, artinya makan bersama-sama dalam satu wadah. megibung sebenarnya tradisi Bali yang mengandung makna kebersamaan. Umat Hindu di sana juga kerap mengadakan ritual ini.

Makanan yang disajikan tentu khas Bali. Base genep yang artinya bumbu lengkap mendominasi makanan-makanan yang tersaji, misalnya masakan ayam base genep, plecing, dan samba matah. Tentu tak ketinggalan bubur bali dan lotong kuah.

Muslim Bali mengadakan megibung setiap khatam 30 juz Al Qur’an. Dilaksanakan setelah buka puasa, diawali dengan buka bersama. Setelah salat magrib megibung pun berlangsung.

Masjid Muhajirin, tempat megibung, adalah masjid bersejarah. Berdiri sejak abad XVIII, di mihrabnya tertera 1326 H. Nama Mujahirin berasal dari pendirinya, para pendatang muslim di Sanur.

Konon, pendatang itu adalah prajurit pelarian. Raja Badung meminta bantuan mereka ketika melawan musuhnya di Bali. Jejak jasa prajurit muslim ini bisa dilihat saat Puri Pemecutan menggelar upacara yang selalu menggelar tarian Rodat. Tarian ini menggambarkan pasukan muslim berperang sambil bersalawat.

Raja Badung menebus jasa itu dengan sebidang tanah untuk didirikan perkampungan. Hingga sekarang, antarumat berbeda keyakinan ini sudah menganggap sesamanya sebagai saudara.

Setiap kali ada acara di kampung muslim selalu dihadiri tokoh penting di Bali termasuk Cokorda Pemecutan. Begitu juga ketika hari raya Galungan yang dirayakan umat Hindu. Pada saat Nyepi, umat Islam membantu pengamanan agar kegiatan warga muslim tidak mengganggu ritual penyepian.

"Keyakinan kami memang berbeda, tetapi kami bersaudara," kata Putu Supadma Rudana, tokoh muda pemilik Museum Rudana di Bali. Dia menunjuk filosofi adat Bali yang disebut Nyama Braya yaitu menjaga tali persaudaraan. "Menjaga hubunan dengan warga muslim adalah kewajiban adat," katanya. Warga Hindu menyebut umat Islam sebagai Nyama Selam, maksudnya saudara umat Islam.

Sejumlah tradisi Bali pun menyerap dalam setiap perayaan Islam lainnya seperti Maulud Nabi dan Isra Miraj. Pada maulud, misalnya, ada kelompok zikir yang melantunkan risalah kerasulan dengan cara makidung, yakni cara melantunkan doa-doa umat Hindu.

Ritual berikutnya adalah penapean yaitu membuat tape, penyajaan (membuat beraneka jajan), dan penampahan (memotong hewan). Beberapa istilah itu sama dengan yang digunakan umat Hindu, tapi materinya tetap ajaran Islam.

Jangan tanya soal seberapa taat mereka menjalankan ibadah, sebab mereka tak sekadar menjalankan ritual juga menanamkannya dalam nilai kehidupannya. Lihat saja di Pagayaman, Buleleng, banyak yang nyantri ke Jombang, Jawa Timur. Pegayaman berada di sebelah utara Denpasar, hanya berjarak 80 kilometer.

Di Pegayaman juga ada tradisi unik yang disebut nyenggol. Ini seperti pasar, hanya saja dilakoni para bocah. Mereka menggelar dagangan di pinggir jalan begitu usai berbuka puasa. Aneka rupa makanan ada di sini, mulai dari buah-buahan hingga sate. Harga ya jelas yang terjangkau anak-anak. Pasar ini bubar begitu suara azan salat isya.

Selain itu, ada tradisi ngejot, yaitu saling mengirimkan makanan antar umat yang dilaksanakan beberapa hari menjelang Lebaran. Makna ngejot tidak jauh beda dengan megibung. Nilai-nilai Bali tetap hidup di tengah masyarakat muslim, sebab mereka juga orang Bali.

Kehidupan di Bali memang indah, seelok alamnya.
Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana
Sumber : yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar